Tak ada perpisahan yang tak melahirkan air mata,
Namun, air mata karena menuntut ilmu,
akan melahirkan kebahagiaan dalam jiwa.
Kamis, 01 Juli 2021. Suasana Pesantren Al Amanah tenang seperti sediakala, para santri dan santriwati melakukan kegiatan masing-masing, salah satunya adalah penyambutan santri dan santriwati baru. Dari arah pintu gerbang masuk Pesantren, tampak para mudabbir (para pengurus) menyambut setiap tamu yang datang dengan Senyuman serta sapaan “SELAMAT DATANG”. Santri baru diantar langsung oleh kedua orangtuanya dengan membawa berbagai macam tas-tas pakaian yang mereka gandeng. Melihat hal tersebut, para pengurus membantu santri baru mengangkat tas-tas mereka dan mengantarkan ke gedung yang akan mereka tinggali. Tampak suasana ceria menghiasi wajah orangtua maupun santri baru tersebut. Di tengah-tengah keramaian itu, tampak seorang ibu setengah baya sedang duduk di pojok salah satu gedung Pesantren Al Amanah. Ia menutupi wajahnya dengan jilbab yang ia kenakan, tangannya sesekali mengusap airmata yang menetes di pipinya, semakin lama airmatanya semakin deras, “Kenapa mama menangis?” Tanya anaknya yang sedang duduk disisi kanannya. Ia tak dapat berkata-kata, airmatanya semakin lama semakin deras, tampaknya tak dapat lagi ia bendung. Saya yang menyaksikan kejadian tersebut teringat dengan kalimat Kiai Hasan Abdullah Sahal, Pimpinan Pesantren Gontor, “Lebih baik menangis karena berpisah dengan anakmu yang sekolah menuntut ilmu Agama, dari pada kamu menangis di masa tua nanti karena anakmu lalai dengan urusan Akhirat”.
Tidak ada orangtua yang kuat berpisah lebih dari 24 jam dengan anak-anaknya dalam sehari. Akan tetapi, harapan yang teramat besar agar anaknya kelak dapat menjadi generasi yang sholeh dan sholehah menjadikan mereka rela, kuat dan mengikhlaskan anak-anaknya untuk mondok di Pesantren. Saya yakin setiap orangtua menangis saat mengantar anak-anak mereka, namun cara mengekspresikan rasa sedih itu berbeda, ada yang menahan airmatanya agar tidak terlihat oleh anak, namun adapula yang tak dapat menahannya.
Saya teringat belasan tahun lalu, saat pertama kali diantar oleh bapak saya ke Pesantren Al Amanah, saya dapat melihat mata bapak yang berkaca-kaca menahan dengan kuat airmatanya agar tak tumpah di hadapanku. Namun, sebagai seorang anak, saya tidak cukup kuat untuk melakukan hal yang serupa, semakin kuat saya menahan agar airmata itu tidak menetes di hadapan bapak, semakin deras airmataku mengalir, hal yang dapat saya lakukan adalah membalikkan wajah agar tidak tampak oleh bapak dan mengusap airmata yang terus menetes di pipi. Namun, satu hal yang saya sadari, Semakin airmata itu menetes semakin kuat dan tegar hatiku untuk belajar di Pondok Al Amanah kala itu.
Menangis adalah hal yang wajar baik perempuan maupun pria dalam mengekspresikan rasa sedih, rasa rindu dan rasa sakit. Dalam sebuah penelitian menangis mengaktifkan sistem saraf parasimpatis yang membantu orang rileks, dengan kata lain menangis memberikan efek langsung yakni ketenangan pada orang yang telah menangis. Semoga adik-adik santri baru sabar dan kuat tinggal di Pesantren, menangis sekali-kali kala rindu pada orangtua itu adalah hal yang wajar, yang tidak wajar adalah ketika adik-adik menangis meronta-ronta atau berteriak sembari merasa bahwa orangtua tidak sayang karena meninggalkan adik-adik di Pesantren. Yakinlah, bahwa jauh dari lubuk hati orangtua tidak tega untuk jauh dari anak-anaknya, namun harapan agar di masa depan adik-adik menjadi generasi yang lebih baik yang Insya Allah menjadi generasi-generasi sholeh/sholehah yang menjadikan kedua orangtua kita semua mengikhlaskan anak-anaknya sekolah di Pesantren. Oleh karena itu, belajar dengan sungguh-sungguh dan hadirkan keikhlasan dalam hati, sebagaimana Panca Jiwa Pondok yang pertama adalah Keikhlasan. Dengan keikhlasan, segala hal akan dilakukan dengan sepenuh hati. Welcome to Al Amanah, selamat datang di kampung Damai.
Salam hangat dari seluruh keluarga besar Pondok Pesantren Al Amanah
Liabuku, 2 juli 2021
Dian Puspitasari Habib, S.Hum.,M.A.