Setiap memasuki halaman pesantren Al Amanah Putra, kita akan melihat tulisan dengan ukuran besar “Ke Pondok Apa Yang Kamu Cari?”. Sepintas kalimat ini terlihat sederhana, untuk menjawabnya, kita tidak perlu menguras otak apalagi memutar pikiran. Jika kalimat ini dibaca oleh wali santri, jelas mereka akan menjawab “ke pondok untuk melihat (mencari) anakku”. Kalimat pertanyaan yang ditulis tepat di halaman penerimaan tamu Al Amanah ini, sesungguhnya ditujukan kepada para santri/santriwati. Walau terlihat pertanyaan sederhana yang dapat dijawab dengan cara sederhana, sesungguhnya dibalik kalimat ini terdapat falsafah yang sangat mendalam karena pertanyaan tersebut tidak cukup hanya dijawab dengan jawaban “ke pondok untuk mencari/menuntut ilmu”. Banyak tempat menuntut ilmu jika hanya sekedar untuk mencari ilmu, apalagi di zaman ini dimana teknologi dan informasi semakin maju dan berkembang dengan pesat, orang-orang dapat belajar dari mana saja bahkan dari rumah sekalipun. Akan tetapi, Pondok pesantren tidak hanya sekedar transfer pengetahuan semata, melainkan penanaman moral dan peningkatan kesadaran kebersamaan (sense of belonging). Hal tersebut dapat kita saksikan dalam kehidupan baik santri maupun santriwati mulai awal bangun pagi sampai mereka tertidur kembali. Jadwal bangun pagi dan jadwal tidur yang telah ditentukan melatih santri dan santriwati untuk bangun dan tidur tepat waktu. Sholat berjamaah yang dilakukan setiap datang waktu sholat dapat meningkatkan solidaritas, rasa tanggung jawab serta kedisiplinan. Interaksi sosial antara para santri melahirkan ikatan ukhuwah islamiyah diantara mereka.
Dari rangkaian aktifitas yang membangun nilai-nilai sosial, santri diharapkan dapat memetik pelajaran berharga sehingga aktifitas-aktifitas tersebut dapat menjadi kebiasaan baik yang dapat membentuk kepribadian santri. Seluruh aktifitas Pondok pada hakekatnya dijiwai oleh 5 nilai yang terangkum dalam Panca Jiwa Pondok. Jiwa Pertama, keikhlasan. Kehidupan berjalan dengan damai dan penuh ketenangan manakala terdapat keikhlasan di dalam hati. “Bekerjalah tanpa pamrih apalagi mengharapkan pujian dan sanjungan dari orang lain”. Demikian nasehat yang selalu diucapkan Alm. Pendiri Pesantren Al Amanah. Jiwa keikhlasan ini ditanamkan pada seluruh warga Pondok Pesantren dalam segala dimensi aktifitas yang dilakukan di dalam pesantren. Dalam hal belajar mengajar misalnya, ustadz dan ustadzah membimbing dan mendidik dengan penuh rasa ikhlas. Santri dan santriwati menerima pelajaran dengan ikhlas pula. Sehingga interaksi pengetahuan terjalin tidak hanya pada level pengajar dan santri tetapi juga pada sesama santri.
Kedua, kesederhanaan. “Sederhana bukan berarti miskin” demikian salah satu slogan yang sangat familiar dalam lingkungan pondok Al Amanah. Jiwa kesederhanaan merobohkan dinding perantara di semua kalangan dalam lingkungan pondok khususnya dalam hal berinteraksi dan bermasyarakat. Semua Santri memakai pakaian yang layak, rapi dan tidak mencolok, tidak pula terlihat glamor. Menurut ibu pengasuh pondok pesantren Al Amanah, ustadzah Hj. Nurmarlina, S.Ag. (istri Alm. Pendiri Pesantren Al Amanah) bahwa salah satu nasehat yg selalu Aba (panggilan Alm Pendiri Pondok Al Amanah) selalu ucapkan adalah “Pondok Tidak menjanjikan kemewahan hidup namun menjanjikan ketenangan hidup”. Kemewahan bukanlah sumber kebahagiaan karena kebahagiaan ada pada ketenangan yang direalisasikan dalam kesederhanaan hidup.
Ketiga, berdikari. Jiwa berdikari ditanamkan sejak awal santri menginjakkan kaki di pondok Al Amanah. Santri dan santriwati belajar untuk bertanggungjawab atas diri mereka sendiri. Jika di rumah pakaian dan makanan diurus oleh orangtua khususnya oleh ibu, di Pondok santri belajar mengurus diri sendiri. Mencuci pakaian sendiri, merapikan lemari dan lain sebagainya.
Keempat, ukhuwah islamiyah. Jiwa yang keempat ini terbentuk karena interaksi yang terjalin antara santri dalam kehidupan sehari-hari. Lahirnya rasa persaudaraan antar santri bukanlah rekayasa semata. Santri yang berdatangan dari berbagai daerah disatukan dalam lingkungan pondok pesantren. Kebersamaan antara santri baik itu makan bersama, sholat berjamaah dll menumbuhkan rasa persaudaraan diantara mereka. Sehingga tak heran jika para santri ketika telah menyelesaikan studi di pondok pesantren merasakan kerinduan untuk berkumpul bersama seperti yang sering mereka lakukan selama di pondok.
Kelima, jiwa bebas. Kebebasan dapat mengarah ke arah yang positif juga dapat bermakna negatif. Kebebasan yang dimaksud dalam Panca Jiwa Pondok ini adalah kebebasan yang mengarah kepada hal positif yang membangun kreatifitas dan prestasi Santri. Oleh karena itu, santri dan santriwati dibebaskan untuk berpikir dan berkarya selama hal itu dapat meningkatkan kualitas. Sebagai contoh di Pondok pesantren, disamping disediakan pelajaran kelas yang wajib diikuti oleh setiap santri, pesantren juga menfasilitasi anak-anak santri dengan berbagai ekstrakurikuler yang dapat mereka pilih dengan bebas sesuai dengan bakat dan minat mereka masing-masing tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Kebebasan yang mengarah kepada kemaslahatan didukung dan diapresiasi oleh pihak pondok guna melahirkan generasi-generasi yang aktif, kreatif dan penuh percaya diri.
Ditulis oleh : Dian Puspita Sari Habib, S.Hum., M.A.